Memahami wisatawan sebagai konsumen dari suatu Daya Tarik Wisata (DTW) merupakan keniscayaan agar dapat memasarkan DTW dengan sukses.
Oleh karenanya, sangat penting untuk mengetahui karakteristik wisatawan dari atas hingga bawah, dari luar hingga dalam bahkan sampai ke akar-akarnya.
Sayangnya, mengenali karakteristik wisatawan bukanlah hal mudah. Terutama karena berbagai perubahan yang terus menerus terjadi, seiring dengan peradaban manusia yang terus berkembang.
Konsultasi Gratis melaui WhatsApp
Wisatawan sebagai e-konsumen
Perkembangan yang paling mencolok jika dihubungkan dengan wisatawan sebagai konsumen semisal terlihat pada aspek teknologi.
Kini wisatawan tidak hanya berperan sebagai konsumen offline saja. Wisatawan telah berubah menjadi e-konsumen, yaitu konsumen yang terhubung dan berbagi di dunia maya.
E-konsumen kini mampu mempengaruhi pemasaran suatu daya tarik wisata tanpa terkendali – setidaknya hingga sekarang.
Meskipun pada banyak kejadian, wisatawan menyebarkan kesan baik di media sosial ketika berkunjung ke suatu daya tarik wisata, hingga akhirnya turut mendongkrak jumlah kunjungan di DTW tersebut, namun tidak sedikit juga kejengkelan dan ketidakpuasan wisatawan yang viral di media sosial.
E-konsumen memang berbeda dari konsumen-konsumen pada umumnya. Mereka lebih proaktif dalam bersuara.
Ketika mendapat kesan yang tidak biasa – entah positif ataupun negatif – kecenderungan untuk berbagi di media sosial menjadi sangat besar.
Bahkan pada beberapa kasus, hal-hal biasa pun sering dibesar-besarkan dengan berbagai tujuan, seperti ingin mendapat perhatian dari orang lain, ingin terkenal atau sekadar ingin meng-update status.
Alasan dibalik keaktifan e-konsumen dalam bersuara
Jika memikirkan mengapa e-konsumen begitu aktifnya berkicau di media sosial, maka kita harus melihat kembali sejarah pemasaran sebelum internet menguasai dunia sekarang ini.
Kira-kira pada tahun 90-an, pemasaran banyak dilakukan secara satu arah. Pemasar yang dalam konteks artikel ini adalah pengelola daya tarik wisata atau mereka yang berkepentingan, melakukan pemasaran daya tarik wisata melalui berbagai media untuk menjangkau calon wisatawan.
Pada pemasaran satu arah ini – sesuai namanya – target pasar yang terkonversi menjadi wisatawan tidak bisa banyak bereaksi untuk mengungkapkan pengalaman mereka selama berwisata. Kesan baik maupun buruk yang dirasakan mungkin hanya bisa mereka ceritakan ke orang-orang terdekat melalui obrolan, surat, telepon, sms atau paling luas – mungkin – surat kabar yang memuat suara pembaca.
Melalui media yang tidak memiliki jangkauan yang terlalu luas tersebut, wisatawan yang puas dan tidak puas seolah-olah terkekang untuk bisa menyebarkan pengalaman mereka.
Namun…
Sekarang kejadiannya berbeda.
Konsumen produk apapun telah ber-metamorfosis menjadi e-konsumen. Wisatawan yang dulu memiliki keterbatasan untuk menyebarkan pengalaman dan pendapat mereka, kini mendapatkan fasilitas media yang bisa menjangkau seluruh dunia tanpa halangan dan kebutuhan dana yang berarti.
Bermodalkan kuota beberapa Megabyte saja, seseorang yang tidak puas akan pelayanan yang didapat ketika berkunjung ke suatu daya tarik wisata dapat bercuit di twitter mengenai pengalaman buruknya tersebut, dan orang lain yang ingin menunjukkan empati pun menyebarkan cuitan tersebut dan jadilah berita viral.
Kini wisatawan seolah tidak punya toleransi lagi terhadap pelayanan yang diberikan di suatu daya tarik wisata. Wisatawan menjadi cepat marah, merasa tidak puas atau bahkan meminta untuk memboikot suatu daya tarik wisata hanya karena hal-hal yang sebenarnya mungkin tidak mendasar.
Bagaimana sikap pengelola DTW seharusnya?
E-konsumen telah membuka penjara opini yang selama bertahun-tahun lalu menekan mereka untuk dapat mengemukakan perasaan kepada orang banyak. Media sosial – khususnya – telah menjadi sarana yang mampu membuat pemasaran daya tarik wisata menjadi efektif dan efisien. Namun di lain sisi juga bisa menjadi pembentuk citra buruk yang luar biasa jika tidak pandai-pandai mengelola pelayanan yang diberikan.
Konsultasi Gratis melaui WhatsApp
Sebagai pengelola DTW, sudahkah Anda mempersiapkan strategi untuk menanggulangi perubahan tren ini? Jika sudah mari diskusikan strategi paling tepat di kolom komentar. Namun jika belum, silahkan berbagi apa saja permasalahan yang berhubungan dengan reaksi wisatawan di media sosial yang pernah anda hadapi selama mengelola suatu DTW.
Tinggalkan Balasan