• Skip to primary navigation
  • Skip to main content

Studi Pariwisata

Pusat Referensi Ilmu Pariwisata

  • Analisis
  • Referensi
  • Serba-serbi
  • KONSULTASI GRATIS

Oleh: sarani pitor pakan | Terakhir disunting: 25 Oktober 2016

Memandang Pariwisata dengan Sinis

You are here: Home / Analisis / Memandang Pariwisata dengan Sinis
Bagikan (Gratis) :)
source: one.org

Apa yang ditawarkan wisata adalah eskapisme. Kita melarikan diri dari yang-rutin, dari obligasi sosio-kultural di rumah, sekolah, kantor, dan masyarakat. Dengan wisata, kita melupakan segala keburukan tentang menjadi urban, tentang kereta pagi yang sesak, tentang jalanan yang ruwet, tentang politik yang kian mengerikan. Kita pergi ke tempat-tempat yang indah, ke surga-surga duniawi, ke lorong-lorong yang menawarkan sejuta fantasi.

Mungkin karena itu pariwisata selalu dipandang dengan positif. Tak ada kesan jelek disana. Kita merayakannya dengan seluruh, mencapnya sebagai juruselamat dari rutinitas yang brengsek. Industri mengemasnya dengan cantik, negara menjadikannya sumber pemasukan (apalagi di saat-saat genting), media memolesnya dengan hiperbola. Dan, kampus-kampus hanyalah perpanjangan tangan dari semangat masyarakat hari ini: konsumsi sampai mampus.

Tak banyak kritisme di studi-studi pariwisata. Dia sudah terlanjur identik dengan manajemen, bisnis, perhotelan, hospitality, dan hal-hal lain terkait urusan mengeruk uang dan memanjakan turis di destinasi. Studi pariwisata yang kritis adalah barang langka. Ada memang, tapi bisa dihitung dengan jari. Sebenarnya gejala ini tak hanya di Indonesia. Di seluruh dunia pun, gairah untuk memelajari pariwisata dengan pendekatan kritis masih tergolong baru.

Pada mulanya adalah kegelisahan. Seringkali, perubahan memang didorong oleh kegelisahan. Kita harus gelisah dulu baru berubah.

Mosedale (2010) menyebut stimulus untuk menganalisis pariwisata secara kritis muncul pada 1970-an. Salah dua stimulus itu adalah tulisan berjudul Tourism: Blessing or Bright? (Young, 1973) dan Tourism: Passport or Development? (De Kadt, 1979). Keduanya mengkritisi keuntungan dan kerugian yang disebabkan pariwisata dari perspektif development dan dependency theory. Setelah dua tulisan berpengaruh itu, retorika-retorika manis yang ditawarkan pariwisata mulai ditelanjangi oleh lebih banyak akademisi dari berbagai disiplin ilmu.

Salah satu dosa pariwisata yang populer dan kerap diumbar adalah dampak negatifnya terhadap lingkungan dan budaya. Periode 1970-an memang penting bagi perkembangan analisis kritis soal pariwisata. Holden (2016) mencatat 1970-an sebagai masa dimana status pariwisata sebagai ‘smokeless industry’ mulai digugat. Banyak ahli mendobrak anggapan usang itu dengan membeberkan berbagai pengaruh buruk pariwisata terhadap lingkungan.

Sedangkan, mengenai dampak negatif terhadap budaya lokal tampaknya tak jauh berbeda. Di sebuah obrolan santai dengan Profesor Tim Oakes dalam perjalanan ke taman nasional De Hoge Veluwe, dia menyebut ethnic tourism mencapai puncaknya sekitar 1980-an. Bisa diperkirakan analisis kritis soal ekses negatifnya juga banyak muncul di sekitar tahun-tahun itu. Di Indonesia, Bali dan Toraja adalah contoh muram yang cukup sering diekspos.

Itu hanyalah beberapa hal yang muncul sebagai buah dari kritisme dalam memandang pariwisata. Sebenarnya, sangat banyak hal lain yang telah dan masih bisa digali. Misalnya, analisis mengenai pariwisata sebagai bentuk baru kolonialisme, kaitan pariwisata dan pelacuran di negara berkembang, eksploitasi dan alienasi kelas pekerja di industri pariwisata, komodifikasi heritage sebagai atraksi wisata, dan masih banyak lainnya.

Kesan negatif jelas terlihat dari contoh-contoh di atas. Namun, tak masalah. Kita sudah terlalu lama dibuai apa-apa yang bagus, indah, positif, dan menguntungkan tentang pariwisata. Kritisme, dan juga sinisme, perlu untuk memandang dan memahami pariwisata. Setidaknya, dengan terinspirasi Pramoedya dalam Anak Semua Bangsa, kita harusnya tak cuma menikmati keindahan pariwisata, namun juga “tidak menutup mata terhadap borok-boroknya.”

Tapi, bagaimana bisa jika studi-studi pariwisata masih tutup mata? Hal itu memang tak mudah. John Urry (2011) dengan terbuka mengakui: “making theoretical sense of ‘fun, pleasure and entertainment’ has proved a difficult task for social scientists.” (“Berteori soal ‘kesenangan, plesir, dan hiburan’ telah terbukti sulit bagi ilmuwan sosial”). Namun, sulit bukan berarti berhenti, lalu kembali merayakan pariwisata dengan dangkal dan mata tertutup, serta fokus pada apa-apa yang mendatangkan duit saja. Setidaknya, buka matalah.

Baca juga

  • [PUISI] Tentang Kami, Orang-Orang Pariwisata
  • LABORATORIUM PARIWISATA: Mimpi yang HARUS jadi nyata
  • “Asap Pariwisata”
Bagikan (Gratis) :)

sarani pitor pakan

Penggemar kelana, sepak bola, dan sastra. Rajin nulis di ugahari.net.

Reader Interactions

Comments

  1. Miga says

    20 Maret 2017 at 9:11 pm

    Indepth nya kurang mas jadi belum greget artikel nya

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Dibuat dengan ♥ Studi Pariwisata © 2015 - 2016. Salam #PesonaIndonesia!

Hubungi Kami • About Us • Disclaimer • Kebijakan Privasi

sponsored